PENDETA BOKSU DOMINEE

Pooling

Agar tongkat estafet bergulir mulus maka disuatu jemaat yang pendetanya akan memasuki masa emiritasi, mulai mempersiapkan  mencari calon pengerja baru.

Sebuah tim dibentuk dan sejumlah prasyarat ditentukan, antara lain: sang calon pengerja harus pandai berkhotbah, harus rajin melawat anggota jemaat, harus ramah dan santun perilakunya, harus disenangi jemaat lanjut usia, dapat diterima kaum wanita, harus mendapat tempat dihati kaum muda, remaja dan anak-anak, dan masih ada sederet “harus” yang lain, yang menunjukan gambar ideal seorang pemimpin jemaat.

Kemudian, dalam Persidangan Majelis Jemaat keluarlah keputusan supaya Koordinator Bidang Pembinaan membuat angket untuk menjajaki pendapat serta pandangan dari jemaat perihal calon pengerja yang akan melayani di gerejanya, karena jemaat bukanlah “domba” yang harus selalu dibimbing dan menuruti saja sang “pemimpin” tanpa perlu diperhatikan pendapatnya.

Pembuatan pooling adalah satu ide kreatif yang mengisyaratkan bahwa “para pejabat gerejawi” mempunyai visi luas. Namun, sayang, apa boleh buat, polling yang sudah dibuat itu jadi mubazir karena batal disebarkan, walhasil, usaha untuk mencari tahu mengenai pandangan atau gambaran ideal dari warga jemaat tentang calon pengerjapun tak bisa didapatkan.

Dominee, Boksu dan Pendeta

Pada zaman voor De Oorlog, istilah yang dipakai untuk menyebut pemimpin jemaat adalah “dominee”, yang berasal dari kata Latin “ dominus” : “tuan”. Ini memang istilah luar biasa , sebab artinya tidaklah muradif dengan “mister’ dalam bahasa Inggris, melainkan lebih dekat dengan kata “lord”, gelar yang diwariskan turun-temurun, kaum bangsawan, para elit yang duduk di kursi Majelis Tinggi dalam sistem bikameral.

Sekarang Protestan memilih kata sansekerta Pandita, dieja Pendeta untuk menyebut pemimpin gerejanya, mengganti kata-kata bahasa Eropa, dominus (Ds), reverend (Rev), dan kata bahasa Hokkian :Boksu.                                         Konon dalam leluri Hindu , pandita awalnya adalah padan dari cendekiawan atau bijaksanawan, orang yang mempunyai kedudukan terhormat yang dalam Negarakertagama disebutkan : “Sakweh sang pandita ng anyadharani mangiket kastawan sri narendra”.

Dan ada juga masanya di Minangkabau, ulama Islam disebut pendeta, seperti  yang terekam dalam novel Marah Roesli, Siti Noerbaja :”tatkala dilihat oleh pendeta itu akan hal…..”

Menurut cerita-cerita wayang dan berbagai karya sastra lama, gelar pandita diberikan kepada orang yang sudah diuji kemampuannya  menempuh “tapa brata”, lulus “ngelmu”  dan mempunyai “Kesakten” bukan dalam arti ”power” seperti dalam pengertian orang barat, demikian ungkap Benedict Anderson seorang ahli politik yang banyak mendalami budaya Jawa, dalam karya besarnya: The Idea of Power in Javanese Culture.

Jika pada denominasi lain ada sebutan “gembala sidang”, maka istilah yang lazim dipakai dilingkungan GKI adalah :”Pengerja”. Namun, dari berbagai sebutan diatas, barangkali,  yang lebih Alkitabiah adalah :“Pelayan”, yang menunjukkan sikap dan gaya hidup seperti Yesus, Tuan (dominus) yang justru merendahkan diri menjadi pelayan bagi murid-muridNya.

1001 macam urusan

Pada umumnya warga jemaat memberi tempat istimewa untuk pendeta, malah bagi sebagian jemaat, pendeta adalah semacam “wakil Tuhan dibumi” perantara untuk sampai kepada Allah, oleh sebab itu tak usah aneh jika ada jemaat yang merasa kurang pas apabila belum dikunjungi atau didoakan oleh pendetanya, kalau hanya dilawat oleh penatua atau tim pelawat rasanya masih “kurang”, karena berkat dari “boksu” itulah yang sangat diharapkan jemaat. Kehadirannnya ditengah keluarga yang dilawat  terasa membawa kesejukan.

Bagi sebagian yang lain, pendeta dianggap orang yang serba tahu (tahu lebih banyak tentu lebih baik  ketimbang tahu lebih sedikit), karena itu maka tidak   jarang semua urusan dibawa kepada pendeta, tentu saja dengan harapan pendeta nanti dapat menyelesaikannya atau paling tidak bisa mencarikan jalan keluar dari segudang permasalahan yang dihadapinya.

Beragam persoalan memang, dari soal mencari pekerjaan, mencari jodoh, penyembuhan sakit-penyakit, perselingkuhan, mencari sekolah, bahkan mungkin sampai urusan minta modal usaha, dan seterusnya, etc.

Karena pendeta kadung dianggap serba bisa, maka seringkali semua urusan gereja harus jadi tugasnya, dari berkhotbah, mengunjungi oang sakit, memberi nasihat perkawinan (bina pranikah), melayani jemaat yang pulang ke rahmatullah (pemakaman), mengambil sumpah jabatan pada saat pelantikan, bahkan kalau perlu sampai “menyapu dan mengepel lantai gedung gereja” (jangan kaget ini cuma guyon  yang barangkali agak berlebihan).

Kalau saja yang menjadi kriteria  untuk menerima seseorang menjadi pendetamasih mempersoalkan prasyarat ideal seperti gambaran “harapan sekaligus tuntutan” yang disebutkan diatas, maka rasanya mustahil untuk bisa menemukan sosok seperti itu dalam diri seorang manusia biasa, kecuali manusia luar biasa yang bukan bearasal dari planet bumi. Sedangkan sosok pendeta tidak lebih tidak kurang adalah manusia yang barangkali punya nama si Suparman bukan Superman (meminjam istilah pengantar film: maaf, kesamaan nama hanya kebetulan, tanpa maksud kesengajaan).

Gambaran tentang sosok pendeta, menurut Lucile Lavender dalam bukunya :They Cry Too, seringkali tidak tepat. Citra pendeta sebagai “manusia luar biasa” dan seraya “hamba yang menderita” yang  sesungguhnya sangat paradoksal, tidak pelak lagi masih melekat kuat pada banyak warga jemaat, karena itu banyak gereja menuntut pendetanya dengan berbagai kualifikasi, sebab ia dianggap “Superman”, namun sebaliknya kurang memenuhi kebutuhan dan tidak mau tahu kekurangan serta keterbatasannya, sebab toh ia “harus menderita”.

Pendeta memang memiliki tugas dan panggilan khusus, tetapi mereka juga bukan manusia yang sempurna, bukan insan kamil yang zakiah, karena itu perlu diperlakukan dalam batas wajar sebagai “teman” bukan “Superman” yang harus serba bisa. Dengan begitu, maka hubungan antara mimbar dan bangku gereja, antara pendeta dan jemaat termasuk Penatua dapat mewujudkan harmonisasi yang ahsan. “Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi Bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan”.

Pendeta adalah manusia biasa yang  juga punya kekurangan dan keterbatasan, bisa marah, bisa jatuh, bisa sakit, perlu makan, punya ambisi, punya keluarga dan seterusnya. Dan rasanya tidaklah salah untuk menjadi manusia biasa, karena Junjungan Agung kita juga menjadi manusia biasa: merasakan lapar, sedih, menangis, gembira, takut (Ibrani 4:15; 5:7-8).

Karena itulah pendeta jangan terlalu disanjung, tapi juga jangan dipentung, boksu jangan diobok-obok dan dianggap musuh. Memang tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa pendeta itu adalah “pelayan jemaat”, tapi apa yang tidak salah bukanlah lantas berarti sepenuhnya benar, karena jemaat juga “bukan tuannya”, pendeta bukan “pelayan pribadi” tapi “pelayan Allah”.

Janganlah kita menghargai pendeta hanya karena ia selalu menyenangkan selera dan selalu sependapat dengan kita. Pendeta yang baik adalah pendeta yang mempunyai pendirian teguh, namun bukan keras kepala.

Pendeta tentu saja tidak dapat mengerjakan semua hal, oleh sebab itu kita sebaiknya memberikan kesempatan agar pendeta dapat berkonsentrasi penuh untuk tugas pokoknya, berkonsentrasi penuh untuk tugas-tugas yang hanya dapat dilakukan oleh pendeta, misalnya khotbah, karena khotbah punya fungsi sentral dan strategis. Sedang tugas-tugas lain yang dapat dikerjakan dengan lebih baik oleh yang bukan pendeta, kenapa tidak dikerjakan oleh yang bukan pendeta, misalnya pelawatan jangan hanya menjadi monopoli pendeta saja.

Sebab dengan dilibatkannya lebih banyak anggota gereja dalam pelayanan itu bukan supaya pendeta “nganggur”, tetapi supaya semua pekerjaan dapat terselenggara dengan baik, karena mendorong 10 orang untuk bekerja lebih baik ketimbang memborong pekerjaan 10 orang.

Pendeta harus melayani gereja, itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, tetapi bukan melayani dalam arti memantapkan establishmentnya,

Memelihara status quo, tradisi dan rutinitas gereja. Yang penting dan utama adalah melayani gereja dalam pembaharuan yang terus menerus supaya gereja makin mampu menghadirkan diri dan melaksanakan fungsinya sebagai gereja ditengah masyarakat. Mampu menerjemahkan dan mempraktekkan teologi melalui pelayanan kependetaannya sekaligus mampu menjiwai pelayanan kependetaannya dengan visi dan persepsi teologis yang jernih dan jelas.

Hubungan serta kerjasama yang baik antara jemaat dengan pendetanya sangatlah menentukan berhasil tidaknya tata tentrem gereja raharja, oleh sebab itulah maka perlu mewujudkan kesaling-pahaman seraya hindari kesalah-pahaman, karena saling pengertian, kesehatian serta dukungan dari seluruh warga jemaat terhadap pendetanya, merupakan asset yang amat besar artinya untuk mengembangkan pelayanan gereja Tuhan.

Akhirul Kalam, tulisan ini sama sekali tidaklah dimaksudkan untuk “mengajari” atau membuat uraian teoritis perihal hubungan antara jemaat dengan pendeta, tulisan ini hanya sekedar tulisan, bukan pembelaan, bukanpula pembenaran, oleh karena itu boleh setuju dan boleh juga tidak setuju, karena hati nurani adalah mahkamah Illahi, maka akhirnya terserah sampeyan.

Salam Takzim,

Yohanes Ang

Leave a comment